Sabtu, 12 Desember 2015

Suara Hati Ibu

“Lintang, dengarkan kata-kata ibu!”
“Lintang tidak salah. Ibu harusnya tahu kondisi Lintang Tuli. Lintang tidak bisa mendengar suara tivi. Salahin Leka, ibu. Leka kan normal. Dari tadi Leka nonton tivi di atas, Lintang terus nonton tivi di bawah, belum ke atas,” kilahku sambil menunjuk ke Leka, adik laki-lakiku sedang duduk asik menonton tivi di lantai bawah.
“Lintang! Ibu tahu.” Ibu tetap bersikukuh seakan tidak dengar alasannya.      
Aku terdiam sambil menatap raut wajah Ibu. Aku tetap tak bergeming ketika namanya terus disebutkan Ibu.
“Ibu, mengapa Lintang terus disalahin? Lintang sudah capek disalahin terus. Ini tidak adil,” belaku pelan.
Aku tahu betul karakter Ibu yang agak temperamental kalau ketemu masalah apa saja yang menganggu Ibu. Aku pun melangkah mundur dari tempatnya berada.
“Lintang pengin Ibu memahami kondisi Lintang Tuli.”
Aku segera kabur menuju ke kamarku setelah mematikan tivi di lantai atas dan berbaring di atas kasur. Aku terhenyak dan terus mengingat kejadian tadi. Dalam hatiku berbicara sendiri.
Ibu… Aku pengin ibu benar-benar memahami dan mengerti kondisi dan perasaanku tuna rungu.
  Aku sebenarnya dilahirkan normal, tapi di usia satu tahun aku diserang penyakit meningitis disertai demam tinggi. Penyakit itu dapat disembuhkan. Nyawaku terselamatkan, tapi harga ditukar dengan dua telingaku kehilangan fungsi pendengaran. Sejak saat itu, aku menjadi penyandang difabel tunarungu yang tidak bisa mendengar suara apapun.
Aku mengandalkan kedua mataku sebagai indera penglihatan dalam berkomunikasi dengan lawan bicara. Aku tidak pernah menggunakan  bahasa isyarat dalam berkomunikasi karena Ibu melarangku berbicara menggunakan bahasa isyarat dengan orang normal. Kini aku masih belajar berbicara dengan pelan dan jelas agar dapat dimengerti lawan bicara orang normal.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...