“Lintang, dengarkan
kata-kata ibu!”
“Lintang tidak salah.
Ibu harusnya tahu kondisi Lintang Tuli. Lintang tidak bisa mendengar
suara tivi. Salahin Leka, ibu. Leka kan normal. Dari tadi Leka nonton tivi di
atas, Lintang terus nonton tivi di bawah, belum ke atas,” kilahku sambil
menunjuk ke Leka, adik laki-lakiku sedang duduk asik menonton tivi di lantai
bawah.
“Lintang! Ibu tahu.”
Ibu tetap bersikukuh seakan tidak dengar alasannya.
Aku terdiam sambil
menatap raut wajah Ibu. Aku tetap tak bergeming ketika namanya terus disebutkan
Ibu.
“Ibu, mengapa Lintang
terus disalahin? Lintang sudah capek disalahin terus. Ini tidak adil,” belaku pelan.
Aku tahu betul
karakter Ibu yang agak temperamental kalau ketemu masalah apa saja yang
menganggu Ibu. Aku pun melangkah mundur dari tempatnya berada.
“Lintang pengin Ibu
memahami kondisi Lintang Tuli.”
Aku segera kabur
menuju ke kamarku setelah mematikan tivi di lantai atas dan berbaring di atas
kasur. Aku terhenyak dan terus mengingat kejadian tadi. Dalam hatiku berbicara
sendiri.
Ibu…
Aku pengin ibu benar-benar memahami dan mengerti kondisi dan perasaanku tuna
rungu.
Aku
sebenarnya dilahirkan normal, tapi di usia satu tahun aku diserang penyakit
meningitis disertai demam tinggi. Penyakit itu dapat disembuhkan. Nyawaku terselamatkan,
tapi harga ditukar dengan dua telingaku kehilangan fungsi pendengaran. Sejak
saat itu, aku menjadi penyandang difabel tunarungu yang tidak bisa mendengar
suara apapun.
Aku mengandalkan
kedua mataku sebagai indera penglihatan dalam berkomunikasi dengan lawan
bicara. Aku tidak pernah menggunakan bahasa
isyarat dalam berkomunikasi karena Ibu melarangku berbicara menggunakan bahasa
isyarat dengan orang normal. Kini aku masih belajar berbicara dengan pelan dan
jelas agar dapat dimengerti lawan bicara orang normal.
****
Jam dinding
menunjukkan pukul setengah enam sore, Ibu baru sampai rumah dari tempat kerja di
sekolahnya. Ya, pekerjaan Ibuku adalah guru Bahasa Indonesia di sekolah SMP
yang jarak tempuh satu setengah jam dari rumah.
“Ibu….” Aku menyambut
Ibu di ruang keluarga di lantai bawah setelah dipanggil Mpok Tati, pembantuku
di rumah diminta untuk menemui Ibu.
Aku memandang wajah
Ibu terlihat kelelahan.
Dari lubuk hati, aku
memahami perasaan seorang Ibu yang berkerja keras dari Senin sampai Jumat, berangkat
kepagian dan pulang kesorean untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku dan Leka.
Ayah juga berkerja lembur dari pagi sampai malam dengan tanggung jawab sebagai
kepala keluarga bagi Ibu, aku, dan Leka. Hanya hari Sabtu dan Minggu atau hari
libur, aku dan Leka biasa berkumpul dengan Ayah dan Ibu sebagai satu keluarga.
Aku menghampiri Ibu
setelah Ibu meletakkan tas ranselnya di atas kursi.
“Lintang, ini Ibu
bawain nasi padang untuk dimakan.” Ibu menyodorkan kantong plastik putih berisi
dua bungkus nasi padang untukku dan Leka.
“Tolong kerokin
punggung ibu ya setelah makan dan sholat magrib,” lanjut Ibu sedang membereskan
isi tas ranselnya.
Aku menyanggupi
permintaan Ibu dengan anggukan,”Ya Ibu.”
Setelah makan nasi
padang pemberian ibunya dan sholat magrib, aku segera menuju ke kamar Ibu di
lantai bawah.
“Ibu, Lintang masuk.”
“Lintang, ambil
minyak kayu putih dan uang koin seribu rupiah,” pinta Ibu sambil menunjukkan
tempat minyak kayu putih dan uang koin berada.
Aku segera mengambil
sebotol minyak kayu putih dan uang koin yang diminta Ibu, lalu aku duduk di
atas kasur dengan posisi di belakang punggung Ibu.
Aku terus memikirkan kejadian
kemarin.
Apakah
Ibu sudah melupakan kejadian kemarin? Dan bagaimana aku bisa bicara langsung ke
Ibu soal kemarin. Aku pengin Ibu memahami kondisiku Tuli.
Hatiku semakin kacau
dan tetap melanjutkan kerokan di atas punggung Ibu.
Meskipun aku difabel Tuli. Di masa sekolah umum, aku dikenal sebagai siswa
berprestasi. Nilai rata-rata di raporku selalu masuk rangking tiga besar di
kelas. Aku mampu bersaing dengan orang-orang normal dengan cara mengikuti
berbagai ajang kompetisi, misalnya olimpiade Fisika antar SMP dan lomba
melukis.
Melalui kerja keras
dan tekad, aku berhasil mengumpulkan lebih dari sepuluh piala serta puluhan
piagam penghargaan dan sertifikat. Semua hasil keringat yang aku dapatkan hanya
pada satu tujuan adalah membuat Ayah dan Ibu bangga walaupun kondisiku sebagai
putri mereka difabel Tuli.
Aku baru selesai
mengerok punggung Ibu dan menaruh kembali sebotol minyak kayu putih dan uang
koin ke tempat awalnya.
“Lintang, tunggu...
tolong pijitin badan Ibu,” pinta ibu lagi setelah memakaikan dasternya kembali.
Aku tidak bisa membantah.
Raut wajahku agak murung.
“Sebentar saja ya,
Ibu?” rayuku direspon anggukan Ibu.
Akhirnya, aku memijit
badan Ibu dengan sukarela. Pikiranku terbesit tentang kejadian kemarin.
Aku
harus kasih tahu ke Ibu sekarang. Aku sudah tidak bisa mundur lagi.
Aku memberanikan diri
dan mengeluarkan beberapa kata-kata dari mulutku sambil memijit kaki kanan Ibu.
“Ibu… Ibu, Lintang
ingin Ibu memahami kondisi Lintang Tuli. Lintang sudah bosan disalahin
terus. Kemarin gara-gara salah Leka. Lintang tidak bisa mendengar suara tivi di
atas, harusnya Ibu kasih tahu ke Leka bukan Lintang. Lintang sedih, bu.”
Terlihat Ibu menatap
ke aku dan terdiam beberapa detik.
“Lintang…”
Aku memperhatikan gerakan
bibir Ibu memanggil namaku.
“Lintang… Ibu mohon
maaf. Ibu tahu soal kemarin. Ntar Ibu ngasih nasihat ke Leka ya. Ibu sayang
padamu, Lintang,” lanjut Ibu sambil tersenyum.
“Ibu… Ibu susah
mengekspresikan kata-kata sendiri tapi, Lintang paham suara hati Ibu.” ujarku.
Ibu mengangguk pelan setelah mendengar kata-kata putri kesayangannya.
“Terima kasih Lintang
untuk memahami suara hati Ibu.”
“Sama-sama, Ibu.” Aku
akhirnya bernapas lega. Masalah menimpaku sejak kemarin sudah tuntas.
“Ibu…” Ibu merespon
panggilanku.
Aku melanjutkan
kata-kataku ke Ibu, “Ibu, Lintang dapat IP 3, 92. IP Lintang paling tinggi di
satu angkatan. Dan satu lagi, Lintang ditunjuk dosen sebagai wakil jurusan seni
rupa untuk mengikuti ajang Mahasiswa Berprestasi tingkat fakultas di kampus.”
Ibu tidak terlihat
terkejut. Ibu sudah terbiasa dengan beberapa kali kejutan prestasi putrinya
sejak aku menujukkan banyak bakat dari kecil sampai dewasa.
“Ibu ikut senang.
Capek Ibu sudah hilang berkat Lintang, Pertahankan terus. Ibu akan selalu
mendukungmu, Lintang” ucap Ibu dengan nada lembut.
Aku baru selesai
memijit badan Ibu. Sebelum keluar kamar Ibu, Aku berbalik ke Ibu.
“Ibu, tolong ingatin
ke Leka ya,” senyumku sambil mengayunkan dua jarinya ke Ibu. Ibu merespon
kata-kataku dengan anggukannya.
****
Tanggal 22 Desember
bertepatan hari Ibu telah tiba. Di hari kerja itu, Ayah dan Ibu kerja, Leka ke
sekolah, hanya aku dan Mpok Tati bersantai diri di rumah. Aku kini di semester
terakhir sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir di rumah. Kadang-kadang ke
kampus untuk bimbingan dengan dosen.
Aku memandang pintu
kamar Ibu bercat coklat gelap, lalu menempelkan dua lembar kertas. Satu lembar
kertas bergambar sketsa bunga Anggrek. Satu lembar kertas lain berisi tulisan
puisi berjudul “Ibu”.
Dalam hati, Aku
berharap.
Semoga
Ibu melihat kejutan hari Ibu dariku dan Leka di pintu kamar ini. Ibu pasti
terkejut pas melihat gambar anggrekku, bunga favorit Ibu dan membaca puisi indah
kubuat bersama Leka untuk Ibu. Aku sayang Ibu. Leka juga sayang Ibu.
Blog post ini
dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan
Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar