Suatu pagi di rumah keluarga Hadiwiryatmaja.
Hari Senin adalah hari biasa memulai kegiatan sekolah.
“Adit, pakai helm dan jaketmu
dulu!”, seru Mama sambil membawakan helm dan jaket ke Adit di jam tepat sebelum
berangkat ke sekolah.
“Tidak perlu, Ma. Adit tidak akan
apa-apa”. Adit memalingkan mukanya ke Papa sedang mempersiapkan motornya untuk
mengantar Adit ke sekolah SMA-nya.
“Dengarkan kata Mama untuk
keselamatanmu, pakai helm dan jaketmu dulu. Lihat Papa sudah memakai helm dan
jaket”, nasihat Papa.
“Ya...,Pa. Adit pakai”. Akhirnya
Adit mengambil dan memakai helm dan jaket
atas nasihat orang tuanya.
“Mama, Adit berangkat ke sekolah”.
Adit memberi salam pamit ke Mama.
Sesampainya di sekolah SMA tempat
Adit bersekolah. Papa Adit menurunkannya tepat di depan pintu gerbang sekolah.
“Pa, Adit pamit dulu”. Adit
melepaskan dan menyerahkan helm dan jaketnya ke tangan Papa.
“Tunggu Adit, pegang jaket dan
helmmu di kamu saja. Tunggu Papa akan menjemputmu sepulang sekolah, oke?”. Adit
mengangguk dan mematuhi kata-kata Papanya.
Setelah Papa Adit berangkat
menuju ke kantornya untuk bekerja, Adit tiba-tiba disambut beberapa teman
sekelasnya, Wayan dan Rama.
“Halo.. selamat pagi, Adit”,
sambut mereka dengan kompak bersamaan. Adit merespon cepat, “Selamat pagi juga,
Wayan, Rama”. Kemudian mereka masuk ke kelas.
Jam istirahat tiba, Adit
menyempatkan dirinya ngobrol dengan Wayan dan Rama di kelas sambil duduk makan
siang.
“Adit, aku ada kabar baik”. Rama
menyiku lengan kiri Adit. Adit pun penasaran dan bertanya.
“Apa kabar baik?”. Kelihatannya
Wayan dan Rama melihat-lihat di sekelilingnya pelan-pelan seolah memeriksa
situasi yang tepat, lalu Wayan mengucapkan beberapa kata ke Adit.
“Dit, hari Minggu besok kita
diajak kakak kelas dari kelas XII-IPS ikut kegiatan lebih asyik, ngoes motor.
Kamu mau ikut?”. Adit pun mengernyitkan dahinya setelah mendengar penjelasan
Wayan.
“Ngoes motor itu asyik? Kamu
serius? Kita baru kelas satu SMA usia 15 tahun”, komentar Adit nampak sedikit
enggan dengan perkataan Wayan. Rama membujuknya.
“Dengarkan, Dit. Kita hanya punya
kesempatan sekali seumur hidup untuk mencoba kegiatan itu. Kita anak muda
harusnya menikmati masa muda. Kamu tidak akan tahu serunya kegiatan itu, bahkan
lebih asyik dari permainan playstation di rumah”.
“Benarkah? Untuk apa ikut?”. Adit
agak meragukan diri sendirinya.
“Untuk unjuk gengsi menikmati
masa muda he..he.. Ayo ikut sekali saja, tapi jangan kasih tahu ke orang tuamu”, kilah Rama.
“Hanya untuk gengsi masa muda?
Jangan kasih tahu ke orang tuaku?”. Dalam hati Adit bimbang. Akhirnya, Adit
menyetujui untuk ikut dengan mereka setelah dibujuk berkali-kali.
Jam istirahat berakhir, saatnya
memasuki jam pelajaran di kelas. Guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas Adit,
Pak Raden memasuki kelas ditemani dua orang berpakaian seragam polisi laki-laki
bertampang muda dan gagah berusia 30-an.
“Anak-anak, jam mata pelajaran bahasa
Indonesia ini ditiadakan. Hari ini kita akan diberi pengarahan tentang pentingnya
keselamatan di jalan lalu lintas yang diberikan oleh bapak-bapak polisi ini”,
kata Pak Raden sambil memperkenalkan dua orang polisi muda di depan kelas.
Salah satu dari dua polisi itu maju ke depan kelas dan memulai pelajaran
tersebut.
“Selamat siang, anak-anak. Nama
saya bapak Aiptu Edi. Kita akan memulai pelajaran tentang pentingnya
keselamatan di jalan lalu lintas. Anak-anak harus tahu, di Indonesia banyak
sekali pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan memakan korban jiwa
sekitar ratusan orang setiap hari. Dari banyak kecelakaan lalu lintas, hampir tujuh
puluh persen kejadian tersebut dialami para pemotor”.
“Adakah tahu apa yang menyebabkan
kecelakaan lalu lintas?”, lanjut tanya Aiptu Edi.
Salah satu murid mengangkat
tangan, “Melanggar rambu lalu lintas?”. Lalu, satu murid lain ikut mengangkat
tangann, “Mengendarai motor ugal-ugalan?”. Aiptu Edi tersenyum setelah
mendengarkan jawaban dua murid tadi.
“Jawaban yang tadi benar. Bapak akan
jelaskan lagi. Penyebab kecelakaan lalu lintas dialami pemotor dikarenakan
adalah kurang kesadaran akan pentingnya keselamatan di jalan lalu lintas. Salah
satunya, balapan motor liar yang sering dilakukan anak muda saat ini dan tidak
memakai helm maupun jaket. Perilaku itu sangat tidak baik. Kalian di usia masih
muda harus menyadari pentingnya keselamatan di jalan lalu lintas. Kalian semua
setuju?”.
Setelah mendengarkan penjelasan
Aiptu Edi, hampir semua murid berteriak menyetujui penjelasannya terkecuali
tiga sahabat, Adit, Wayan, dan Rama.
“Wayan, Rama. Pak polisi itu
sepertinya benar. Mungkin aku tidak akan ikut kegiatan seperti itu”, kata Adit
diselimuti keraguan. Wayan dan Rama menatap serius ke Adit seakan-akan tidak
ada yang mempengaruhinya.
“Alah..alah, tidak usah ditanggapin.
Kami masih ingin mencoba kegiatan itu sekali saja. Kamu pasti mau ikut sekali
saja, kan?”. Rayuan Wayan diikuti anggukan senyum Rama membuat Adit semakin
tertarik. Hanya empat kata dari Adit untuk menjawab bujukan mereka, “Oke hanya
sekali saja”.
Akhirnya hari Minggu tiba. Di
rumah keluarga Hadiwiryatmaja.
“Adit … Adit, bantu Papa cuci
motor di halaman depan”, kata Mama sesaat Adit baru keluar dari kamar. “Ya,
Ma”. Pandangan Mama melihat Adit berpakaian rapi membuatnya curiga. “Adit mau
ke mana?”. Dengan tanggap cepat, “Tidak ke mana-mana, Ma”.
Di halaman depan rumah, Papa
meminta Adit menyiram air ke seluruh badan motor, lalu meninggalkannya untuk
mengambil selang di belakang rumah. Tanpa sepengetahuan Papanya, tangan Adit sudah
memegang kunci motor, lalu menghidupkan motornya. Wayan dan Rama sudah
menunggunya di tempat sembunyi tak jauh dari rumah Adit.
Papa Adit baru keluar dari rumah
sambil memegang selangnya, lalu melihat sesuatu yang disadari telah hilang.
“Motor di mana? Adit di mana ?
Mama tahu di mana Adit?”. Papa Adit terlihat kaget sambil mengernyitkan
dahinya.
Di suatu tempat rahasia, kawanan kakak
kelas menantikan kedatangan tiga sahabat. Rama mengendarai motornya sendiri.
Wayan mengendarai motor milik Papa Adit sambil memboncengi Adit.
“Wayan, aku merasa tidak enak
sekarang. Papa aku pasti akan memarahiku”, ucap Adit.
“Tenang saja, Dit. Kita cuma ngoes motor sebentar sekali di
sepanjang jalan agak sepi dari situ ke sana”, kilah Wayan sambil menunjukkan
jalan yang akan ditelusuri, kemudian mengedipkan mata kanannya pada Adit.
“Semoga tidak ditangkap polisi. Hanya hari ini saja sekali”, batin
Adit sambil cemas.
Ya benar saja. Baru 15 menit,
Adit dan kawan-kawan sempat menikmati keseruan ngoes motor dengan mempercepat
laju semakin ngebut tertangkap basah dan ditilang oleh beberapa polisi yang
kebetulan sedang berpatroli di sekitar jalan yang telah ditelusuri. Salah satu
dari beberapa polisi menghampiri Adit dan dua sahabat. Ternyata…
“Sepertinya saya pernah melihat
kalian di sesuatu tempat”. Polisi bertampang muda dan tiga sahabat saling tatap
muka. Adit dan dua sahabatnya dilimuti rasa cemas. Tiba-tiba polisi muda itu
menyadari sesuatu.
“Oh iya, saya tahu. Saya pernah
melihat kalian di sekolah SMA kemarin di kelas Pak Raden, kan?”, selidiki polisi
muda itu berlagak jadi detektif membuat hati mereka pun ciut.
“ Ya ? Pak Raden itu wali kelas
kami. Bagaimana bapak polisi mengenal kami? He..he..he”, celoteh Rama yang
berani mengajukan pembicaraan dengan polisi muda.
“Bisakah kalian membaca label
nama di seragam saya?”. Polisi muda menunjukkan label nama tertera di
seragamnya. Mereka bertiga kompak membaca label namanya.
“A-I-P-T-U E-D-I”.
Sekejap mereka bertiga menunjukkan ekspresi terkejut.
“Tidak mungkin? Ternyata pak polisi
ini pernah mengunjungi kelas kita di jam pelajaran pak Raden”, sanggah Rama.
Adit dan Wayan kembali terdiam seribu emas.
“Kalian bertiga, tolong jawab
pertanyaan saya. Mengapa kalian berkendara motor ugal-ugalan? Berkendara motor
tidak memakai helm dan jaket? Umur berapa kalian?”, tanya Aiptu Edi berkacak
pinggang.
“Eee….tidak tahu. Gengsi masa
muda. Kami bertiga sama-sama umur 15 tahun. Kami pertama kali melakukan ini
hanya sekali saja, pak”.
“Pertama kali itu hanya untuk
gengsi masa muda saja? Sudah punya SIM? Bawa STNK? Apakah benar motor ini punya
kalian?”, tanya Aiptu Edi seakan menginterogasi mereka dengan nada tegas.
“Kami belum punya SIM, pak. STNK
ketinggalan di rumah. Motor itu punya Papanya Adit, motor itu satu lagi punya
Rama”, jawab Wayan dengan nada lirih. Adit dan Rama hanya bisa menunduk
ketakutan.
“Kalian bertiga masih di bawah
umur dan belum punya SIM. Anak muda
zaman sekarang masih suka unjuk gengsi dengan cara ngoes motor ngebut, begitu
pula tidak memakai helm dan jaket. Kalau tidak dihentikan, kalian bisa saja
dapat kecelakaan dan membahayakan masa depanmu. Kapan kalian punya niat
mematuhi peraturan berkendara motor yang aman?”, geleng Aiptu Edi. Tiga sahabat
pun seolah kena mati kutu.
“Bagaimana bisa nih? Kata kakak kelas, biasanya tiap hari minggu
polisi libur dan tidak pernah ada di sekitar sini yang jalannya agak sepi”,
keluh Wayan. Aiptu Edi menanggapinya, lalu tersenyum tertawa kecil.
“Polisi itu tidak pernah libur,
he..he.. Sekarang kalian harus dibawa ke
rumah orang tua masing-masing untuk dimintai keterangan. Kami akan mendampingi
kalian”, senyum Aiptu Edi sambil menuliskan sesuatu di atas kertas surat tilang
untuk mereka bertiga.
“Yaaahh….”. Mereka bertiga pasrah
dibawa polisi ke rumahnya masing-masing.
Sesampainya di rumah Adit. Setelah
Papa Adit berbicara dengan polisi yang mengantarnya pulang, lalu menghampiri Adit
tertunduk lesu duduk disamping Mama di ruang keluarga.
“Adit, bagaimana pengalamanmu
tadi? Papa tidak akan marah. Papa meminta Adit mempertanggungjawab kejadian
tadi”, kata Papa sambil memegang pundak kiri Adit dengan lembut.
“Pa, Adit mohon maaf telah
membuat Papa membayar denda tilang motor Papa yang tadi dikendarai. Adit
lakukin hanya mencoba kesempatan untuk gengsi masa muda sekali. Adit merasa takut
ditangkap polisi lagi. Adit tidak mau melakukan itu lagi. Adit kapok”. Adit
mengaku atas perbuatannya sambil menangis pelan-pelan ke Papanya. Mendengar
pengakuan Adit, Papa menatap mata Adit.
“Papa tahu kejadian tadi
pengalaman pertama kali bagi kamu. Papa dan Mama sebagai orang tua mengkhawatirkan
keselamatan kamu. Ada beberapa nasihat dari papa yang harus kamu tahu, nak”.
“Ya pa, Adit siap dinasihati Papa”.
Adit memberanikan diri.
“Ingat baik-baik nasihat Papa. Selalu
pakai helm dan jaket tiap naik motor. Untuk kamu masih di bawah umur dan belum
punya SIM, tidak diperbolehkan berkendara motor di jalan lalu lintas. Papa atau
Mama akan memboncengi Adit setiap naik motor. Semua nasihat Papa untuk keamanan
dan keselamatan kamu”. Setelah mendengarkan penjelasan nasihat Papanya, Adit mengangguk
dan menatap ke Papa.
“Satu hal lagi, hanya untuk gengsi
masa muda? Gengsi di usia muda dengan cara tadi itu terlalu berlebih-lebihkan
dan harga diri untuk menikmati masa muda”, lanjut Papa.
“Pa, Apakah tidak harus gengsi masa
muda?”.
“Adit, gengsi itu akan membuat
kamu rugi. Ada banyak cara lain bermanfaat yang kamu bisa lakukan di usia muda,
tidak dengan cara ngoes motor cepat seperti yang tadi”.
“Adit sadar, Papa. Adit janji
tidak akan melakukan hal seperti tadi. Adit menyadari pentingnya keamanan dan keselamatan
berkendara motor”. Papa tersenyum saat mendengar kata-kata Adit, lalu memeluknya.
Mama di samping Adit ikut tersenyum.
Semenjak hari itu, Adit tidak
pernah melanggar peraturan berkendara motor di bawah umur di jalan lalu lintas.
Begitu pula sama halnya dengan Wayan dan Rama. Mereka bertiga telah belajar
dari pengalaman yang didapat sebelumnya. Setelah lulus SMA dan sudah mendapatkan
SIM, mereka bertiga memutuskan selalu mematuhi peraturan mengenai berkendara
motor di jalan lalu lintas dengan niat penuh sadar untuk aman, tertib dan keselamatan berkendara
motor lebih baik lagi.
****
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar